Delapan Tahun Tanpa Windu

Sudah kubilang kepada Bunda untuk berhenti meladeni pemuda bertubuh jangkung itu, tetapi ucapanku hanya berakhir sebagai angin lalu. Tidak membenak sedikit pun di pikirannya. Sejak awal aku sudah berfirasat buruk terhadap lelaki delapan belas tahun yang berat badannya aku yakin tidak lebih dari empat puluh kilo. Dia sangat kurus dan tinggi, kulitnya pucat sampai urat-urat halusnya terlihat, rambutnya hitam berantakan seperti ijuk. Adalah Windu namanya, sudah tidak bersekolah juga tidak punya pekerjaan. Setiap pagi ia menyapu jalanan sambil menggaungkan sebuah lagu yang tidak bernada. Ya, saking sumbangnya suara si Windu, lagu yang ia nyanyikan lebih mirip seperti lolongan anjing kelaparan. Setelah menyapu jalanan, ia akan mengetuk pintu-pintu rumah warga satu per satu, lalu menceritakan kisah aneh tentang sumur belakang rumahku.

Tentu saja ceritanya hanyalah bualan, Windu si bocah aneh itu terkenal akan tingkahnya yang kurang waras di kampungku. Para tetangga sudah enggan mengacuhkan Windu, tiap kali pemuda itu mengetuk pintu tak pernah dibukakan untuknya, pun jika bertemu di jalan dan Windu memulai cerita, mereka hanya mengiyakan kemudian berlalu. Seperti tidak punya waktu untuk menghadapi seorang Windu. 

Bundaku, lain halnya dengan para tetangga. Setiap pagi Bunda duduk di teras, ditemani sepiring pisang goreng hangat dan dua cangkir teh manis. Bunda seperti menunggu Windu mengetuk pintu—meskipun Bunda berada di teras—kemudian mendengarkan cerita Windu sampai matahari naik sepenggalahan.

Malamnya, Bunda akan bersimpuh di atas sejadah, membisikkan doa-doa yang diiringi rintih sampai fajar. Lalu, karena kurang beristirahat dan banyak pikiran, Bunda terbaring sakit. Ini sudah kali keempat dalam waktu dua bulan aku mengantar Bunda menemui dokter untuk keluhan yang sama, hingga tadi sang dokter berkata kepadaku, “Jangan biarkan Bundamu stres, ya, kasihan.”

Sungguh, aku tidak punya waktu untuk membuat Bunda stres. Aku pergi bekerja setiap pukul tujuh, dan pulang pukul lima sore. Setiap hari Minggu aku menggantikan Bunda mengerjakan pekerjaan rumah, membiarkannya beristirahat dan melakukan hal lain yang ia suka. Aku belikan apa yang Bunda mau, juga kuberikan berapa pun gajiku yang ia minta. Sejak kematian Ayah, tidak pernah sekali pun aku membangkang. Aku bertekad mengabdikan seluruh hidupku untuk Bunda, bahkan kurelakan jiwa ragaku untuknya.

Hanya saja, aku tak mengerti. Sejak Windu kembali usai hilang secara misterius sekitar delapan tahun yang lalu, lelaki itu menjadi tidak waras. Anehnya, belakangan ini Bunda lebih menganakkan Windu daripada aku. Sama sekali aku iklas jika hal itu membuat masa senja Bunda lebih berwarna. Kenyataannya, Bunda malah sering sakit-sakitan, dan ikut membual tentang sumur di belakang rumah seperti Windu.

Ya Tuhan, kalau tahu begini akhirnya, akan kubantu bapaknya si Windu untuk memasung lelaki aneh itu di kandang monyet. Keluarganya cukup malu karena tingkah Windu yang selalu mengganggu warga setiap pagi, juga membual tentang sumur di belakang rumahku setiap senja. Katanya, di dasar sumur sana ada harta dan dosa, sangat aneh, bukan?

Suatu hari, Bunda yang sedang tidur mendadak bangkit dan terkesiap. Bunda bertanya kepadaku, berapa hari lagi menuju hari Kamis. Kemudian, Bunda nampak terkejut sampai menutup mulutnya yang menganga. Lalu menoleh dengan cepat ke kanan dan ke kiri, diiringi suara lenguh dan napas yang memburu. Gerakannya lebih cepat, semakin cepat, hingga lenguhnya berganti jerit pilu yang menyayat telinga.

Bunda berteriak dan berlari mengelilingi rumah. Usahaku untuk menenangkannya tak satu pun berhasil. Bunda terus berteriak dan berlari menuju sumur di belakang rumah, dengan bertelanjang kaki Bunda membungkuk di tepi sumur untuk melihat ke dalam mencari sesuatu. Matanya membola, dan irisnya bergerak-gerak bak profesor yang membaca cepat.

“Bunda, jangan begini, Bunda! Ayo kembali! Bunda harus istirahat,” titahku yang mencoba tetap lembut tak diacuhkan. Sudah kurangkul tubuhnya agar Bunda melihatku, tetapi isi sumur itu seperti lebih penting daripada dunia baginya.

Pada hari itu, aku merintih menahan tangis melihat Bunda yang seperti hilang akal, ia terus menerawang isi sumur dengan tubuh bergetar dan desah bisik yang tak jelas. Sampai para tetangga menonton halaman belakang rumahku, seolah-olah aku dan Bunda ialah wayang di atas panggung. Mereka hanya saling membisikkan gosip, aku tahu mereka bahkan tidak ada niat untuk membantu kami.  

Saat deru napas Bunda mulai mereda, juga tubuhnya tak lagi gemetar, Bunda berkata, “Tidak ada waktu lagi, Nak.”

Wajah Bunda sangat pucat seolah-olah ia makhluk tanpa darah, dengan bulir peluh sebesar biji jagung yang berjajar liar di pelipisnya, Bunda berbalik badan. Berjalan masuk ke dalam rumah dengan perlahan, langkah kakinya bagai tidak menapak saking lunglai tubuhnya. Segera aku menyusul Bunda untuk menuntunnya kembali masuk ke kamar, tetapi tanganku malah ditepis kasar. Dengan pandangan lurus tanpa melirik keberadaanku, Bunda mengunci diri di dalam kamarnya.

Saat itu, pertama kalinya aku kecewa kepada Bunda.

Tiga hari berlalu, Bunda masih tidak mengacuhkan diriku. Semua perhatian yang kucurahkan untuk memperbaiki keadaan seperti tiada artinya, bahkan kurasa ia enggan untuk sekadar merasakan kehadiranku di sekitarnya. Biarlah, bagiku mencintai Bunda adalah harga mati, sepahit apa pun saat bersamanya, lebih pahit jika tanpanya.

“Yuni,” panggil Bunda tiba-tiba. Hatiku bersorak, akhirnya Bunda menyebut namaku lagi meski matanya terus memandang jendela, tepatnya memandang pohon sirsak tempat si Windu menikmati senja.

“Ya, Bunda?”

“Bunda ingin pakai kain seputih kapas, dan harum semerbak kemboja. Tampunglah air, dan siapkan kue-kue pasar. Rumah ini akan didatangi banyak tamu.”

Aku patuh dengan senang hati. Usai mohon izin pamit dari hadapan Bunda, aku bergegas menampung air di kamar mandi. Memasak air untuk minum, dan pergi ke pasar untuk membeli kue-kue, kain putih, juga parfum bunga kemboja. Kurapikan seisi rumah seperti menyambut hari raya, juga kutata semua yang Bunda minta.

Semuanya siap, tinggal kutunjukkan kain putih yang ingin Bunda pakai. Saat kubuka pintu kamarnya, aku hanya menemukan sepucuk surat yang membuat jiwaku luluh lantak, dan tulang-tulangku tak mampu lagi menopang raga ini.

Yuni, sudah saatnya engkau cintai dirimu. Pergilah dengan kawanmu, cari pria baik yang mampu mencintaimu sebagaimana kamu mencintai Bunda. Yuni, bocah lelaki itu tidak gila, ia hanya ingin dimakamkan dengan layak usai ditumbalkan ayahmu. Anakku sayang, engkau tidak usah khawatir, ia takkan menghantuimu atau para tetangga lagi. Hari ini tepat delapan tahun ia tiada, kuputuskan untuk bertukar tempat dengan bocah malang itu. Yuni, sayangku, sampai jumpa lagi di tempat yang paling indah milik Tuhan. Bunda selalu mencintaimu.

Bunda benar, rumahku didatangi banyak tamu malam harinya. Mereka datang untuk mengurus jasad Windu yang membusuk, juga jasad Bunda yang mengendap di dasar sumur.


12/10/2022
Gigi Sadrira

Komentar