Saat
itu, seolah ada yang menarik tanganku dan membawaku ke bukit ini. Aku lupa,
saat itu pagi, siang, ataukah sore. Atau malam? Entahlah, aku tak ingat. Siapa
yang menarik tanganku pun, aku tak ingat.
Di
sinilah aku, di bukit kecil yang sedikit familiar. Memoriku berkelana, mencoba
mengingat tempat yang kini aku pijakkan kakiku di atas tanah rumputnya. Mentari
hampir ditelan malam, tetapi, aku masih belum mendapatkan apa yang ingin
kuingat.
“Faiz!”
Panggilan
itu ….
“Lho,
A-Arif?”
“Ayo,
pulang sekarang! Nanti diculik gendoruwo!”
Arif
menarik tanganku sebelum aku menjawab, aku masih berusaha mengingat, tetapi
Arif mengajakku berlari dengan begitu cepatnya. Berulang kali ia bilang, kita
harus segera pulang sebelum diculik gendoruwo. Aku tidak percaya, tetapi rasa
takut mendadak menguasai sukmaku.
Kami
terus berlari melewati sepi, dipayungi semburat jingga oleh langit yang menuju
malam. Lantunan tarhim dari surau menggema dengan syahdunya. Memoriku yang
berkelana, mulai mendapatkan ingatan yang kucari.
“Faiz,
nenek kamu nunggu di depan teras. Aku mau langsung pulang,” kata Arif. Dia
melepaskan tangannya dariku, lalu kembali berlari secepat tadi ke arah barat.
Aku
tercenung dengan semua yang terjadi. Menatap tangan kecilku yang barusan
ditarik Arif, lalu kuedarkan pandanganku pada lingkungan senja yang asri.
Tubuhku merinding dan ingin menangis, aku ingin ambruk pada jalanan tanah
kering ini. Mataku bahkan sudah berkaca-kaca, kalau saja Nenek tidak menarikku
untuk masuk ke dalam rumah yang masih setengah bilik, mungkin aku akan
benar-benar melakukannya.
“Kalau
udah mau Maghrib, pulang! Bukan bengong di tengah jalan, mau kamu digondol
kalong wewe?”
Nenek
mengomel, dan terus menceramahi aku yang pulang tepat ketika azan Maghrib di
televisi berkumandang. Aku tersenyum samar, sekali lagi, aku ingin menitikkan
air mata. Sekali lagi juga, Nenek memarahiku untuk segera mandi.
Air
sumur menyegarkan pikiranku, dan aku benar-benar menitikkan air mata dibalik
sekujur tubuhku yang kuyup. Handuk berwarna merah aku gunakan untuk menyeka,
dan mengeringkan tubuhku. Setelah itu, Nenek berteriak lagi, aku disuruhnya
gegas pergi ke surau untuk mengaji.
“Kenapa
kamu enggak ikut jemaah Maghrib?” bisik temanku. Kalau tidak salah, namanya
Wahyu. Betul dia Wahyu, aku melihat di pensilnya ada nama Wahyu yang tertulis
di kertas dan dilekatkan dengan selotip.
“Aku
pulang terlambat.”
Terdengar
Wahyu membuang napasnya, “Semoga Ustadz Syamsu enggak sadar.”
Aku
bergumam, tak lama Ustadz Syamsu datamg lalu duduk di hadapan kami—anak-anak
yang mengaji. Setiap gerakannya terlihat penuh wibawa, apalagi ketika beliau
menyuruh kami untuk berdoa.
Riuh
rendah lantunan doa sebelum belajar, menggema di surau ini. Aku turut melantunkan
doa-doa yang dilanjutkan solawat. Rasanya, dalam dadaku ada yang membuncah.
Aku
masih memperhatikan Ustadz Syamsu, pria yang usianya aku yakin mendekati
setengah baya. Di sampingnya tergeletak sebuah rotan kayu yang cukup panjang,
aku menegang—menelan saliva.
Kami
selesai berdoa, Ustadz Syamsu mulai menulis pada papan tulis kapur. Bunyi kapur
yang berderit menciptakan euforia aneh dalam dadaku, sebisa mungkin aku menahan
senyum.
Beberapa
anak mulai gaduh ketika guru ngaji kami menjelaskan tentang ilmu tajwid, aku
terdiam mengamati sekeliling, menunggu apa yang akan terjadi.
“BRAAKK!”
Suara
itu, adalah rotan yang dipukulkan pada meja kecil yang terbuat dari kayu.
Ustadz Syamsu pelakunya, kegaduhan langsung reda ketika guru ngaji memelototkan
matanya. “Belum puas kalian main?!”
Tidak
ada yang menjawab. Semua menunduk, kecuali aku. Ketika tegang terpampang di
wajah teman-temanku, justru aku mencoba menahan senyum yang sejak tadi ingin
kupatrikan.
“Arif!
Coba kamu tunjukin idgham bigunnah di surat Al-Alaq!” perintah Ustadz Syamsu.
Arif hanya tertunduk, aku mengamatinya dari jarak dua meter.
Tidak
ada jawaban dari Arif, hingga akhirnya Ustadz Syamsu berceramah, dengan
sisa-sisa amarah yang dienyahkannya.
Esok
paginya, aku terbangun karena hawa dingin yang menusuk sampai ke tulang, juga
suara nyaring ayam dan burung yang saling bersahutan. Pagi ini, dibalik sarung
yang menutupi tubuhku sampai ke leher, aku tersenyum haru. Mataku yang masih
terpejam akhirnya meneteskan air mata, perasaanku bercampur aduk.
“Faaaiiiz!
Bangun, cepetan mandi!” Suara Nenek membuatku menggeliat, mencoba melawan hawa
dingin yang sedikit mengganggu. Aku terduduk di atas kasur kapuk, melihat jam
dinding yang menunjukkan pukul setengah tujuh pagi.
Gegas
aku berlari, menyalakan televisi, mencari-cari yang ingin aku ketahui. Kanal
nomor empat menayangkan kartun Ninja Hattori. Aku tersenyum sumringah, dan
larut dalam asyiknya tayangan kartun.
“Faiz,
mandi! Bukan nonton tivi!” Nenek membawa ember berisi cucian basah yang hendak
dijemur di halaman, aku sedikit terperanjat karena Nenek nyaris membentak. Saat
aku melirik jam di dinding, ternyata dua jam berlalu sejak aku menyalakan
televisi.
Sebelum
Nenek marah lagi, aku segera mandi pagi. Bernyanyi riang, dan tersenyum gembira
sambil menahan haru. Setelahnya, aku menggunakan pakaian bergambar Power
Rangers yang dipilihkan Nenek. Kemudian menikmati sarapan nasi goreng dan
segelas susu kental manis, sambil menonton kartun.
Matahari
sepenggalahan naik, tayangan kartun sebentar lagi selesai. Aku menunggu sesuatu
yang kuharap terjadi di masa kanak-kanak ini.
“Faaiiiiz!”
Suara
riang teman-temanku terdengar dari depan rumah, gegas aku menghampirinya dengan
riang.
“Kenapa?”
tanyaku pura-pura tak tahu.
“Ayo,
main!” ajak Arif. Ia datang kemari bersama yang lainnya, yang kuingat samar
namanya. Mungkin itu Wahyu, Dodi, Reza, dan Ilham. Entahlah, aku tidak
mengingat semuanya.
Aku
kembali masuk ke dalam rumah. Meminta
izin kepada Nenek untuk bermain di lapangan dekat bukit. Nenek mengizinkan
seperti dugaanku, dengan semangat aku menghampiri anak-anak lainnya. “Ayo kita
main!”
Di
lapangan kami bermain petak umpet, memerankan polisi yang mengejar maling, bermain
gobak sodor, dan lainnya tanpa ada lelah. Tawa gembira kami terus mengudara,
apalagi ketika mengganggu anak-anak perempuan yang bermain lompat tali.
Membahagiakan!
Kami
berlari ke atas bukit, memanjat pohon jambu merah di sana yang entah milik
siapa. Di bawah terik matahari sore, kami menikmati jambu. Kemudian para anak
perempuan menghampiri.
“Ih,
kalian maling jambu di kebun Pak Basit! Bilangin, aah!” kata salah satunya,
sepertinya dia Mira.
“Enggak
maling, kita ngambil doang. Nanti pulangnya bilang ke Pak Basit, wooo! Fitnah!”
Dodi membela diri.
“Bohong
kamu, Dodi. Kan, kata Ustadz Syamsu mencuri itu dosa, masuk neraka nanti.” Mira
tak mau kalah.
Aku
menahan tawa melihat perdebatan yang menegangkan ini, Dodi dan Arif beradu
mulut dengan para gadis cilik. Padahal benar yang dikatakan mereka, kami ini
mencuri, haha!
“Layangan
putuuuus!” pekik Reza sambil menunjuk langit. Kami sontak menoleh, memang ada
layangan putus yang terbang tak tentu arah.
“Woi,
kejar!”
“Ayo,
woi!”
“Reza
yang liat duluan, itu punya Reza!”
“Ah,
siapa cepat dia dapat!”
Dan
kami berhamburan turun dari bukit, mengabaikan anak-anak perempuan yang
meneriaki kami karena ketahuan mencuri jambu. Aku dan teman-temanku berlari
sambil berseru, mengejar layangan murah dan memperebutkannya.
Berlari
sambil mengamati layangan, begitu memacu adrenalin. Rasanya menyenangkan,
tetapi sedikit takut kalau-kalau tersandung. Aku yakin anak-anak lain tidak
merasa begitu, hanya aku.
“Gdebuk!”
“Faaaiiz!”
Seketika
aku terperanjat, terbangun dari tidur lelapku. Pandangan aku edarkan, aku
berada di rumah, tepatnya di kamarku yang berdindingkan tembok. Aku terbaring
di atas ranjang empuk, bukan di kasur kapuk.
Ingin
rasanya aku berteriak, memanggil Nenek. Tetapi, kalender di atas nakas
membungkamku. Tanggal tiga belas yang aku lingkari, menandakan lima tahun sejak
wafatnya Nenek.
Aku
tersenyum miris. Rupanya semua hal menyenangkan tadi, hanyalah mimpi. Masa-masa
itu sudah kulewati belasan tahun lalu, dan adalah anugerah ketika aku bisa
kembali pada usia kanak-kanak, meski hanya mimpi.
Aku—Faiz
dewasa memandang cermin. Tak ada lagi omelan Nenek, tak ada lagi canda tawa,
mewarnai permainan di lapangan dekat bukit. Sekarang, 2021. Hanya ada aku,
bersama pandemi yang berujung semu.
Tentang
Penulis:
Gigi Sadrira, pengarang kecil yang hobi
makan mie (2021/02/10).

Komentar
Posting Komentar